Oleh : Asmiati Keliata, SH
(Alumni Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyah STAI Seram Timur Kampus Bula)
“Apakah partai politik dan masyarakat kita bisa eksis jika politik itu di laksanakan tanpa uang. Terutama partai politik dimana pandangan eksis politik tanpa uang hanya menjadi alat bagi pemilik modal besar sementara politik sendiri sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang mestinya di bawah ke jalur politik yang benar tanpa uang.”
Bula,SBT – Sebagai warga Negara Indonesia melalui pengamatan yang selama ini kita temukan bersama bahwa sistem demokrasi kita saat ini sedikit mengalami kemunduran dan lebih fatal lagi yaitu politik kita sebagiannya berubah menjadi demokrasi kriminal. Perlu diketahui bahwa demokrasi yang sungguh bagus itu pada saat awalnya reformasi namun setelah demokrasi kita berubah menjadi demokrasi prosedural dan saat ini yang kita temukan adalah demokrasi yang sering terjadi kriminal.
Sebab hal yang mendasar yang membuat itu terjadi ketika terjadi politik uang atau money politik disetiap kontestasi politik dari mulai ranah paling bawah sampai kepala pemilihan presiden. Dari politik uang inilah lemah politik bagsa ini mulai dari tingkat bawah hingga tingkat atas sehingga akan berdampak pada masyarakat kita sendiri padahal kita semua inginkan agar system seleksi Leadership atau kepemimpinan yang harus unggul untuk memberikan pandangan politik dalam pemerintahan yang bersih dan sehat dari poltik uang.
Untuk itu menjadi landasan bagi kita semua adalah jangan kita memilik pemimpin yang selalu berpolitik uang serta hanya pencitraan karena hal tersebut merupakan sebuah modal kemiskinan dan kemunduran, sebab pemimpin harus berkarakter, inspiratif dalam srategi, leadership.
Untuk menentukan arah pertiwi Indonesia ini kea rah yang lebih baik dengan visi misi yang mengedepankan hak-hak rakyat dan kepentingannya. Hal yang terjadinya politik uang disebabkan oleh kesadaran masyarakat yang sebagianya tidak bisa diandalkan. Terlebihnya, kepada para calon wakil rakyat dalam kontes Pemilihan Umum (Pemilu) dimana politik yang dibawahkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat sebagai Leadeship, sebab seluruh lapisan masyarakat mengharapkan Pemilu yang bermartabat tanpa politik uang untuk menentukan perubahan dimasa yang akan datang.
Maka tentunya politik uang merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih, yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam batang tubuh undang-undang serta yang tertuang dalam setiap butir pancasila.
Hal yang akan menjadi dampak negatif terjadinya politik uang yaitu mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong. Sebab kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah sampai pusat merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi. Penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tindak pidana politik uang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara. Bila diperhatikan, relatif ada kesamaan elemen actus reus pada ayat (1) sampai ayat (3) dalam pasal tersebut. Adapun elemen mens rea dirumuskan dengan corak kesengajaan. Perumusan sanksi pidana atas tindak pidana politik uang menggunakan pola indefinite sentence. Kedepan model ancaman pidana yang seharusnya digunakan adalah indeterminate sentence. Pencegahan tindak pidana politik uang dapat dilakukan melalui doktrin pencegahan kejahatan perspektif kriminologi yang menitikberatkan
pada 5 teori yakni teori abolisionistik, menekankan pada faktor pendorong terjadinya kejahatan; teori moralistik yang menekankan pada pencerahan masyarakat melalui pesan-pesan moril; dan teori pencegahan primer, sekunder serta tersier. Partai politik seharusnyaikut dikenai pertanggungjawaban pidana ketika terlibat dalam tindak politik uang dengan merujuk pada teori identifikasi.
Akhir-akhir ini, bukan hanya Pemilu yang dibumbui dengan politik uang. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, hingga pemilihan kepala desa (Pilkades) juga tak luput dari aroma menyengat politik uang.
Pendeknya, baik dalam Pemilu, Pilkada hingga Pilkades, politik uang selalu tampil di depan-mengalahkan visi misi, atau program kandidat dan partai politik. Pasca Pemilu era Orba yakni di era reformasi, Pemilu justru banyak dibumbui oleh fenomena politik uang. Tidak jarang praktiknya dilakukan secara masif di tengah-tengah masyarakat. Alhasil, politik uang menjadi tontonan murahan yang merusak kualitas demokrasi. Dalam konteks ini, Pemilu kehilangan orientasi yang tidak memberikan dampak yang baik kepada seluruh masyarakat kita.
Pada zaman Orde Baru (Orba) terjadi pergeseran paradigma, fenomena politik uang jarang didengar dan dicatat karena Pemilu selalu dihiasi oleh penggunaan kekuasaan untuk memenangkan partai pemerintah. Segala kekuatan bersatu padu bersangkut paut memenangkan Partai Golongan Karya. Sehingga Pemilu seolah hanya seremoni demokrasi belaka. Pemilu diselenggarakan, tetapi kampanye sangat dibatasi, banyak kandidat didiskualifikasi, dan berbagai peraturan diberlakukan tidak proporsional terhadap lawan-lawan politik pemerintah.
Dalam pandangan hukum politik dimaknai sebagai kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hokum yang seharusnya berlaku dalam mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu harapan yang menjadi acuan untuk menyelesaikan persoalan ini perlu dilakukan edukasi terhadap masyarakat kita yakni pendidikan politik merupakan kegiatan atau aktifitas yang memiliki tujuan untuk membentuk nilai-nilai moral serta orientasi politik dalam individu. Karena pendidikan politik mampu mendorong masyarakat berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab dalam perpolitikan negara.
Untuk memasuki pentahapan Pemilu yang akan berlangsung di tahun 2024, wacana serius menggabungkan Pemilu dan Pilkada menjadi Pemilu Serentak Tahun 2024 sepertinya hanya soal menunggu waktu saja. Selain itu, Pemilu adalah ruang sekaligus mementum yang konstitusional untuk Pemilih memberikan penghargaan atau penghukuman kepada para kontestan Pemilu, baik kepada personal orang per orang, maupun untuk partai politik. Bagi politisi dan partai yang bekerja dengan baik, maka rakyat akan memberikannya kesempatan dalam bentuk penghargaan.
Sedangkan untuk politisi dan partai politik yang berkinerja buruk akan diberikan hukuman (tidak dipilih kembali). Singkatnya, negara yang memilih corak pemerintahan demokrasi, maka Pemilu merupakan perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Politik uang atau money politic merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap, tentunya ada beberapa pasal yang mengatur soal Politik Uang, baik di Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun di Undang-undang Pemilhan Umum (Pemilu).
Diantaranya, pada Pasal 73 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2015, yang berbunyi: Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih. Dan Pasal 280 Ayat 1. Huruf j UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, dengan bunyi: Pelaksana, Peserta, dan Tim Kampanye Pemilu dilarang: menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Peserta Kampanye Pemilu.
Termasuk, sanksi yang berkenaan praktik politik uang pun, sudah ada dikedua perundang-undangan tersebut. Kesimpulannya, segala hal berbau pertukaran terkait dengan penyelenggaraan Pemilu yang melibatkan transaksi tidak wajar dengan pemilih, sebenarnya dapat dikategorikan dengan Politik Uang. Maka dari itu, ada beberapa pertanyaan yang mungkin kita temukan sekaligus bahan diskusi berkenaan dengan hal diatas, apakah pada saat Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 tersebut, misalkan di wilayah Provinsi Maluku dan khususnya di Kabupaten Seram Bagian Timur sudahbersih dari praktek Politik Uang? Jawabannya bisa di jawab iya (setuju), bisa juga tidak.
Maka dari itu tentunya pasti akan beranjak dari de facto dan de jure, perspektif yang akan dikedepankan respon dari hal tersebut. Berpulang dari semangat dan obyektifitas kita semua, tentunya. Upaya pencegahan baik secara kuantitas maupun kualitas, sudahseharusnya Bawaslu terkait secara tegas mampu melakukan seoptimal mungkin. Karena, sesungguhnya sangatlah tidaklah mudah apalagi sederhana untuk sampai melakukan Penanganan Dugaan Pelanggaran sampai ke persidangan (pengadilan), dan itu satu diantara ekspresi penindakan. Walau sesungguhnya sedikit yang memahami, penindakan juga bagian dari upaya pencegahan (sehingga orang atau sekelompok orang, tidak melakukan hal yang sama dengan orang/pihak yang ditindak).
Politik uang dalam konteks kontestasi Pemilu, sederhananya seputar relasi dan kausalitas kuasa antara Pemilih dengan Peserta Pemilihan baik itu Calon Presiden Wakil Presiden (Capres Cawapres), Calon Anggota Legislatif (Caleg) diseluruh tingkatan, Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Calon Kepala Daerah (Calkada), serta Partai Politik (Parpol) Peserta Pemilu, dengan seperangkat instrumen dan mesin politiknya.
Benar adanya, satu diantara tugas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) diseluruh tingkatan menurut undang-undang, yaitu mencegah terjadinya praktik Politik Uang. Namun, bukan hanya patut tapi layak disadari, hadirnya kontestasi politik yang mana hal tersebut dinisbatkan pada penyelengaraan Pemilu yang bersih dari praktek Politik Uang merupakan kebutuhan (bukan hanya sebatas kepentingan) dari Pemilih (masyarakat/rakyat) itu sendiri secara keseluruhan.
Dan benar pula adanya, tugas dan tanggung jawab secara konstitusional menghindarkan Pemilu dari adanya praktik Politik Uang itu ada diseluruh organ tubuh Bawaslu diseluruh tingkatan. Jika semua unsur terkait sama-sama bersepakat, hadirnya Pemilu tanpa Politik Uang adalah suatu kebutuhan, maka upaya meminimalisir bahkan meniadakannya menjadi tanggung jawab dan ladang amal kita semua, sesuai peran dan porsinya masing-masing.
Tentu hal tersebut, tidak hanya dibebankan ke satu diantara multipihak yang ada, termasuk ke Pengawas Pemilu itu sendiri. Hadir dan nyatanya Pemilu tanpa Politik Uang tentu berkontribusi penting pada demokrasi yang berkualitas dan bermartabat, begitu pula sebaliknya.
Dalam konteks Poltik Uang yang dihubungkan dengan, tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu setempat, Perlu di pahami bersama bahwa ikhtiar terbaik yang bisa dilakukan (tanpa bermaksud meminta pemakluman/ berapologi) yaitu melakukan upaya tegas dan terukur mempersempit ruang bertemunya Calon Penerima dan Calon Pemberi, dan bermetamorfosis menjadi Pemberi dan Penerima. Karenanya sejatinya, Penerima dan Pemberi itu sama-sama pelaku praktek Politik Uang.
Mempersempit ruang dari sisi Calon Penerima (Pemilih ataupun masyarakat secara lebih luas) yang dimaksud, yaitu dengan gencar dan masif menyadartahukan akan bahayanya Politik Uang bagi Pemilu yang demokratis, berpotensi lahirnya wakil rakyat maupun pemimpin yang korup, serta berpotensi berurusan dengan hukum bahkan masuk penjara, dan seterusnya.
Sedangkan mempersempit ruang dari sisi Calon Pemberi (kontestan Pemilu dan tim pemenangannya), beberapa diantaranya yaitu yaitu dengan gencar dan masif menyadartahukan bahwa praktik politik uang sangat bertentangan, bahkan merupakan pengkhianatan dengan esensi Pemilu yang demokratis, tidak mencerdaskan Pemilih/ masyarakat, pelaku berpotensi berurusan dengan hukum bahkan masuk penjara, dan seterusnya.
Mirisnya, masih didapati oknum kontestan Pemilu yang masih meyakini dan mempraktikkan politik uang itu bagian dari instrumen bahkan strategi suksesi pemenangan. Menjadi tambah nyatakan dan sempurna terjadinya politik uang, disaat Pemilih juga masih bernegosiasi dan berharap bahkan menjadikan suara mereka tersebut dijadikan tawar-menawar (transaksional dengan kompensasi materi atau nominal tertentu).
Kalau pola pikir tersebut masih ada, bahkan tumbuh subur pada Penyelenggaraan Pemilu kita, Maka haqqul yaqin bukan hanya Pemilu yang demokratis masih jauh untuk dicapai, bahkan Pemilu yang demokratis tidak akan pernah terwujud.
Straight to the point nya sebagai berikut; menjadi keniscayaan jika Pemilihnya cerdas dan partisipatif, serta Peserta Pemilunya taat aturan. Begitu pun sebaliknya, menjadi retorika jika satu saja diantara Pemilih atau Peserta Pemilu tidak berlakon layaknya keterpenuhan 2 (dua) unsur Pemilu yang demokratis tersebut. Klise. Memang terkesan klise, prasyarat dan syarat tersebut, karena mahfumnya faktor terjadinya Politik Uang tidak semata soal kontestasi politik kekuasan. Pemilu bisa jadi hanya sebuah memomentum saja, dalam konteks Politik Uang. Bisa jadi, Politik Uang sebagai satu diantara feedback dari kekecewaan, trauma janji.
Faktor latar belakang ekonomi terkini (saat perhelatan Pemilu diselenggarakan), rasanya susah diambaikan begitu saja, untuk tidak dianggap faktor yang berkontribusi terjadinya praktek Politik Uang. Apapun itu, dengan segala pembenarannya, Politik Uang adalah kejahatan serius bagi demokrasi. Ingat. Pemilu tanpa Politik Uang itu kebutuhan, bukan hanya sebatas keinginan. *CNI-08