Gelap yang Tak Pernah Usai: Harapan Warga Kilmury Menyala di Tengah Keterbatasan (Oleh: Baim Abdullah Rumadaul)
Bula, CakraNEWS.ID – Saat senja mulai menyapa Kecamatan Kilmury di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), langit memerah keemasan. Pemandangan itu sejenak memesona namun seiring matahari tenggelam, bukan cahaya yang datang menyambut, melainkan kegelapan yang pekat, yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari hidup delapan desa di wilayah ini. Di sini, malam bukan sekadar peralihan waktu, tetapi babak baru dari kenyataan yang gelap secara harfiah dan maknawi.
Desa Nekan, Mising, Afang Defol, Taa, Selor, Afang Kota, Undur, dan Kumelan adalah titik-titik yang masih tertinggal dalam peta kemajuan. Di saat kota-kota lain merayakan teknologi dengan listrik pintar dan jaringan internet berkecepatan tinggi, warga Kilmury masih menggantungkan hidup pada pelita tua dan lampu botol berbahan bakar minyak tanah.
Kerlip cahaya redup menjadi satu-satunya sumber terang, yang menemani anak-anak belajar, ibu memasak, dan ayah memendam harapan dalam diam.
“Kami sudah terbiasa gelap. Tapi bukan berarti kami nyaman,” kata Dullah Fotty, pemuda yang kini memimpin gerakan sosial Save Kilmury. Ucapannya tenang, tapi mengandung bara kesedihan yang sudah lama membara. “Kami tidak meminta lebih. Hanya ingin merasakan apa yang warga lain rasakan terang.”
Dullah bukan satu-satunya suara yang mewakili rindu akan keadilan. Edey Kwaikamtelat, alumnus STAI Seram Timur yang kembali ke kampung halamannya di Desa Nekan, menambahkan suara perlawanan dengan kata-kata yang menggugah. “Kalau Kilmury terus dilupakan, itu adalah dosa besar. Kami bagian dari Indonesia yang merdeka, tapi belum pernah merasakan nikmatnya kemerdekaan itu.”
Ia berbicara bukan dengan nada amarah, tapi dengan luka yang dalam. Seperti luka Ibrahim Kwairumaratu, atau yang akrab disapa IB, warga Desa Gunak berusia 33 tahun. Sejak lahir hingga kini, IB belum pernah merasakan listrik menyala di rumahnya. “Kami hidup dalam gelap. Anak-anak belajar dengan pelita dari kaleng atau botol bekas. Hidung mereka menghitam karena asap. Kadang rambut mereka terbakar karena terlalu dekat dengan api,” tuturnya lirih.
Ironi semakin terasa saat diketahui bahwa sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sudah berdiri di kecamatan ini. Namun dari sepuluh desa, hanya dua Kilmury dan Kilbon Kway yang menikmati listrik. Delapan lainnya seperti sengaja dilupakan, seakan tak masuk hitungan pembangunan.
Namun, di balik semua keterbatasan itu, nyala semangat warga tak pernah padam. Kilmury hidup bukan karena listrik, tapi karena daya tahan dan keteguhan hati. Anak-anak tetap pergi ke sekolah dengan semangat, ibu-ibu tetap mengajarkan baca tulis di bawah cahaya pelita, dan para pemuda terus membangun komunitas, menyuarakan aspirasi lewat media sosial dan forum-forum informal.
Tak ada pawai lampu, tapi ada parade harapan di setiap langkah mereka. Tak ada cahaya lampu jalan, tapi ada cahaya tekad di mata setiap anak yang bermimpi menjadi guru, dokter, bahkan insinyur.
Kilmury memang gelap. Tapi warga di sana tak pernah kehilangan arah. Karena di tengah pekat malam, mereka terus berjalan dengan satu kompas: harapan. Dan bagi mereka, harapan itu tak bisa padam meski belum disambangi listrik, belum disentuh pembangunan, dan belum dipeluk oleh keadilan.
Pemerintah boleh lupa. PLN boleh lambat. Tapi semangat warga Kilmury terus menyala. Dan selama nyala itu tetap hidup, gelap bukan akhir dari segalanya. Ia hanyalah jeda, sebelum cahaya akhirnya datang menyapa.**Redaksi-CNI