Fahri Bachmid Benarkan Diminta
Kantor Hukum Ihza & Ihza Law Firm SCBD-Bali Office menjadi Ahli Dalam Pengajuan JR AD/ART Partai Demokrat ke MA RI
Jakarta, CakraNEWS.ID– Pengacara kondang Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc membela empat kader Partai Demokrat yang dipecat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pembelaan pengacara kondang yang telah didaulat sebagai pakar Hukum Tata Negara (HTN) kepada mereka dengan langkah mengajukan Judicial Review (JR) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai Demokrat ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Untuk kepentingan teknis peradilan dalam proses pemeriksaan perkara Judicial Review alias JR AD/ART Partai Demokrat oleh MA selaian dokumen Permohonan Pemohon yang telah disusun sedemikian rupa dengan dalil-dalil dan argumentasi yuridis dan konstitusional yang sangat kuat dan memadai oleh Prof. Dr.Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc.
Maka selanjutnya untuk memperkuat permohonan JR tersebut, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra juga menghadirkan Ahli yang relevan dengan pokok perkara ini yaitu : Dr. Hamid Awaludin,S.H.,M.H.; Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah,S.H.,M.H. dan Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. untuk melengkapi dan memperkuat dalil permohonan judicial review yang akan diperiksa dan diputus oleh MA.
“Iya benar, saya diminta serta diajukan sebagai Ahli dalam perkara judicial review ini oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc dan Kantor hukum Ihza & Ihza Law Firm SCBD-Bali Office sesuai kapasitas akademik dan keilmuan saya,” ujar Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia,Dr.Fahri Bachmid, S.H.,M.H.
Dikatakan secara lengkap keterangan dirinya telah disampaikan dan menjadi bagian dari berkas permohonan untuk kepentingan pemeriksaan perkara judicial review di MA.
Menurut Fahri, gugatan AD/ART Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan “kesisteman” partai politik di indonesia kedepan. Juga dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta demokrasi konstitusional.
“Ketika Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini,” katanya.
Sebab secara hipotetis, Fahri mengatakan bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik,? karena UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.
“Dan tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya,” tandasnya.
Sedangkan disisi lain AD/ART adalah peraturan dasar “hukum “ yang mengatur secara internal parpol. Dijelaskan Fahri, anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik.
Dengan demikian, lanjut dia, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodel maka tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.
“Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum “legal vacuum” yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU diatasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan “breakthrough” secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” tukas Fahri Bachmid.
Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum “rule breaking” penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA RI. Dan secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.
Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring” itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.
“Sehingga berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum,” paparnya.
Partai Politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan “Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum”. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa “pendaftaran partai politik” adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.
Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan “Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU-XVI/2018, dimana MK telah menerima permohonan sebagai pihak Pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai “badan hukum publik” sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang,
“Dengan demikian judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik,” katanya.
Urgensi judicial review, dikatakan Fahri Bachmid, sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman “judicative power” yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.
Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.
“Ahirnya, persoalan dan konteks ini harus diletakan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan sebuah “Ijtihad konstitusional” atau suatu langkah secara “legal konstitusional” ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART Parpol serta kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme dan oligarkis partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik,” beber Fahri Bachmid.*** CNI-02