Jakarta, CakraNEWS.ID– Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan tujuh kepala daerah terkait akhir masa jabatan mereka, Kamis (21/12/2023).
Kepala daerah tersebut ialah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, sekaligus Ketua Tim Hukum Pemerintah Provinsi Maluku Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Menyampaikan bahwa Gubernur Maluku Murad Ismail dan beberapa kepala Daerah mengajukan uji materiil Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada Nomor 10/2016 yang mengatur kepala daerah hasil pemilihan 2018 menjabat sampai 2023 ke Mahkamah Konstitusi RI.
Argumentasi konstitusionalnya adalah meski dipilih lewat Pilkada 2018, para pemohon baru dilantik pada 2019, dengan demikian secara faktual ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah bertentangan dengan UUD 1945, sehingga MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa norma pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah dalil yang dapat dibenarkan secara hukum,
Fahri Bachmid merujuk pada pertimbangan hukum MK, yang mana ditegaskan bahwa, sepanjang berkenaan dengan perhitungan masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati hari pemungutan suara serentak nasional tahun 2024.
Menurut Mahkamah hal tersebut tidak dapat dipenuhi mengingat diperlukan waktu yang cukup untuk menunjuk penjabat kepala daerah sehingga tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup, yaitu 1 (satu) bulan sebelum hari “H” pemungutan suara serentak secara nasional yang diberlakukan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya melewati hari pemungutan suara serentak dilakukan tahun 2024.
Fahri Bachmid menekankan bahwa bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum 1 (satu) bulan menjelang pemungutan suara serentak tahun 2024, seperti Gubernur Maluku Murad Ismail, maka masa jabatannya berakhir 5 (lima) tahun sejak pelantikan.
Dengan demikian, Mahkamah dalam amar putusan a quo menyatakan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
“Dan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 termasuk Gubernur Maluku Murad Ismail akan memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”, afirmasi ini diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak secara nasional pada tahun 2024,” tegas Fahri.
Fahri Bachmid menegaskan bahwa MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda dihadapan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Dengan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, serta Menyatakan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang semula menyatakan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 termasuk Gubernur Maluku Murad Ismail memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.
Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selengkapnya menjadi menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.
“Dengan demikian, Gubernur Maluku akan memegang jabatan gubernur selama lima (5) tahun penuh, sampai dengan bulan April tahun 2024, dan secara konstitusional itu adalah suatu perintah hukum yang telah clear,” tegasnya.
Fahri Bachmid berpendapat bahwa produk putusan MK adalah “erga omnes” dan telah sejalan dengan ketentuan norma Pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, putusan MK bersifat final, yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Sifat final dalam putusan MK dalam UU MK mencakup kekuatan hukum mengikat, secara teoritik dan normatif Kekuatan mengikat putusan MK sejatinya tidak lepas hanya pada kedua belah pihak yang bersangkutan, melainkan semua badan pemerintahan, lembaga negara, dan semua orang harus tunduk pada putusan MK tersebut.
“Setiap hak atau kewajiban yang bersifat “erga omnes” dapat dilaksanakan dan ditegakkan terhadap setiap orang atau lembaga, Putusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan kata lain tidak ada upaya hukum lain sesuai perintah norma Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu langsung memperoleh kekuatan hukum,” jelasnya.
Maka putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan, secara konstitusional putusan MK mempunyai efek keberlakuannya yang bersifat prospektif ke depan “forward looking” bukan berlaku ke belakang “backward looking.”
“Dengan demikian putusan MK terkait dengan masa jabatan gubernur Maluku ini bersifat self executing, artinya langsung berlaku dan tidak membutuhkan pengaturan lebih lanjut, tetapi putusan MK ini langsung berlaku,” tutup Fahri Bachmid.***CNI-04