CakraNEWS.ID – Wacana pengenaan pajak karbon di Indonesia baru-baru ini mengemuka di media massa usai dibahas dalam rapat kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu poin usulan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dengan adanya pajak karbon, berarti ada tambahan sumber penerimaan negara yang baru. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenakan pajak.
Menyikapi hal itu, Anggota DPR RI FPKS Komisi IV, Saadiah Uluputty, menolak individu/orang pribadi menjadi subjek pajak sehingga tidak membebani banyak masyarakat.
“Pemerintah harus menentukan ambang batas emisi karbon yang diperkenankan, sehingga implementasi pajak karbon tidak akan menjadi beban dari rakyat kebanyakan,”tegas Saadiah yang diundang dalam kegiatan Webinar, bersama Fathan Subakti, anggota komisi XI DPR RI FPKB, Pa Joko Tri jaryanto, Badan kebijakan Fiskal kementrian Keuangan RI, Ambarsari Dwicahyani Dosen Ekonomi UHAMKA, Paul butar butar Direktur Eksekutif Masyarakat energi Terbarukan Indonesia, dengan tema ” PELUANG DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI PAJAK KARBON DALAM RUU KUP”. Kamis, (12/08/2021).
Sementara itu, Saadiah juga mengingatkan bahwa ketentuan Pajak sebagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup telah di atur pada UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat (2) yaitu, upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Untuk itu, pada dasarnya, Saadiah sangat menyambut positif pajak karbon sebagai salah satu upaya mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari aktivitas industri yang menyebabkan peningkatan gas rumah kaca.
“Jadi pajak karbon merupakan konsepsi yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan yang ingin di wujudkan dalam pembangunan nasional,”ucapnya.
Namun, anggota DPR RI yang berasal dari Dapil Maluku ini menggaris bawahi, agar pajak karbon dapat efektif sehingga mengurangi dampak yang ditimbulkan sekaligus mewujudkan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim pasalnya, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim akibat tingginya emisi karbon dan gas rumah kaca.
Berdasarkan data World Research Institute Indonesia (2020), Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan tingkat emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Jumlahnya setara dengan 2% emisi yang dihasilkan dunia.
Olehnya itu, Saadiah menginginkan, agar pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada sektor kehutanan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sebab, penyumbang emisi terbesar berada pada sektor kehutanan, sekitar lebih dari 50 % emisi nasional.
Selain itu, menanggapi rencana pemerintah yang akan mengenakan tarif Rp. 75/ kg CO2e, Saadiah Uluputty berhitung berdasarkan inventarisasi GRK sebanyak 1,8 juta ton CO2e. Total penerimaan negara dari pajak karbon adalah Rp.40 Milliar/ Tahun, artinya jauh lebih kecil dari komitmen dunia international untuk mendukung program Reducing Emission from Degradation and Deforestation (REDD+) yang besarnya mencapai U$ 1 Milliar.
Sehingga, menurut anggota DPR RI yang menjadi mitra dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berpandangan bahwa, anggaran REDD+ yang besar tersebut justru harusnya digunakan untuk memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berkontribusi positif bagi lingkungan.
“Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat Pandemi Covid-19 ini, lebih baik pemerintah mengedepankan mekanisme insentif daripada disinsentif berupa pengenaan pajak” tutup Saadiah.***