Benar bahwa tidak ada norma hukum yang melarang praktik politik dinasti, namun secara etik dan moral demokrasi tentunya ini merupakan ekses buruk terhadap perkembangan demokrasi.***
Oleh: M Fikry Rahantan. S.H., M.H.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal Pemilu 2024, mendekati waktu pendaftaran Capres dan Cawapres yang dijadwalkan mulai tanggal 19 Oktober-25 Oktober 2023 diwarnai dengan berbagai dinamika dan intrik politik ketatanegaraan, salah satu yang cukup mendapat atensi publik adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait yudicial review terhadap norma Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah…q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun…”. Pemohon berdalil norma pasal ini menimbulkan diskriminasi negatif (negative discrimination) sehingga harus dinyatakan inkonstitusional, namun yang menarik untuk dianalisis lebih jauh adalah bagaimana posisi MK dalam melakukan uji materil terhadap pasal ini? Apa ratio decidendi yang menjadi landasan MK dalam melakukan uji materil terhadap pasal ini? Apa implikasi yuridis yang timbul setelah putusan ini dinyatakan final dan mengikat? Benarkah ada korelasi antara Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan eksistensi politik dinasti?.
Legal Standing Mahkamah Konstitusi Dalam Yudicial Review
Berdasarkan amanat dari Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada di bawahnya …. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Kemudian dipertegas di dalam Pasal 24 C UUD NRI 1945 bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…” Bersandar pada amanat konstitusi inilah maka MK memiliki kewenangan untuk melakukan uji materil terhadap norma pasal di dalam UU yang diindikasi bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Dalam melakukan fungsinya sebagai the guardian of constitution maka kewenangan MK tentunya bukan tanpa batas, sebab dalam konsep separation of power segala kekuasaan tentu dibatasi oleh norma hukum agar kekuasaan tersebut tidak menjadi absolut dan tetap berimbang sesuai porsinya demi menjamin penyelenggaraan negara berjalan secara fair dan ideal. Mahkamah Konstitusi pada mulanya dibentuk sebagai lembaga peradilan yang berfungsi untuk melakukan uji dan pembatalan terhadap norma hukum yang bertentangan dengan konstitusi (negative legislator) hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Ayat 2 UU 8/2011 yang kemudian dibatalkan norma hukumnya oleh MK karena dianggap membatasi kewenangan MK.
Di titik inilah MK kemudian bertransformasi dari negative legislator ke positive legislator, dampak dari pergesarn fungsi MK inilah yang kemudian membuat MK seringkali membuat norma hukum baru di dalam putusannya hal ini juga yang kita temui di dalam amar putusan MK No 90/PUU-XXI/2023.
Masih dalam putusan yang sama MK terkesan mengabaikan batasan-batasan yang harus ditaati dalam melakukan uji materil, norma Pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait batas Capres dan Cawapres idealnya merupakan open legal policy sehingga MK secara konstitusional tidak memiliki kapasitas untuk menguji norma pasalnya sebab itu menjadi kewenangan dari lembaga legislasi (DPR RI).
Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
Guna memahami lebih dalam terkait penalaran hukum yang dijadikan sandaran oleh MK dalam menguji norma Pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017, tentunya akan tercermin pada pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh MK didalam putusan tersebut. Secara sederhana dapat ditarik beberapa faktor yang menjadi alasan hukum MK dalam menguji pasal ini.
Pertama, MK berpandangan bahwa batas usia ini tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, namun dengan melihat praktik di berbagai negara memungkinkan presiden dan wakil presiden atau kepala negara/pemerintahan dipercayakan kepada sosok/figur yang berusia di bawah 40 tahun, serta berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan RIS (30 tahun) maupun di masa reformasi, in casu UU 48/2008 telah pernah mengatur batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Sehingga, guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda atau generasi milenial untuk dapat berkiprah dalam konstestasi pemilu untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden .
Kedua, MK melihat secara a contrario, adanya batasan syarat Presiden dan Wakil Presiden berusia minimum 40 tahun berpotensi merugikan hak konstitusional generasi muda sehingga hal ini dinyatakan inkonstitusinal bersyara. Syarat inilah yang kemudian norma hukumnya ditambahkan oleh MK di dalam amar putusannya yakni menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Perluasan norma yang ada di dalam putusan MK inilah yang kemudian menimbulkan persoalan hukum.
Pertama, MK memutuskan perkara namun melebihi tuntutan (Petitum) yang dimohonkan oleh pemohon.
Kedua, MK memberikan perluasan norma yang mana hal ini kemudian melahirkan norma hukum baru, sedangkan secara ideal MK tidak memiliki kewenangan hukum untuk membuat norma hukum baru.
Ketiga, Jika MK merasa bahwa norma tersebut melanggar konstitusi maka dibatalkan saja dan tidak perlu membuat norma hukum baru, sehingga open legal policy tetap menjadi kewenangan legislasi yang melekat pada lembaga legislatif.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 Terhadap Eksistensi Politik Dinasti
Politik Kekeluargaan di Indonesia bukan lagi persoalan baru, model politik semacam ini tumbuh subur pada era orde baru bahkan tidak sempat diamputasi saat memasuki reformasi. Kekuasaan seringkali hanya dikuasai dan diduduki oleh sebagian orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan.
Hal ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi yang ingin memutuskan mata rantai politik dinasti. Melihat data Kementerian Dalam Negeri yang menunjukkan sejak Pilkada langsung dilaksanakan pada tahun 2005-2014, setidaknya ada 59 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang mempunyai ikatan darah, data ini menunjukan bahwa semangat demokrasi tidak berjalan pada garis yang ideal, dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan publik.
Dengan adanya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 bukan tidak mungkin bahwa persepsi terhadap praktik politik dinasti yang tadinya hanya eksis di tataran demokrasi lokal kina semakin eksis dalam iklim politik nasional. Pandangan terkait Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 sebagai manuver politik untuk melenggangkan politik dinasti bukanlah asumsi yang tak berdasar, jika membaca Putusan MK secara komprehensif maka akan ditemui beberapa indikator yang mengarah pada indikasi adanya campur tangan kekuasaan dalam mempengaruhi putusan MK guna mengabulkan permohonan pemohon.
Pertama, dalam poin terkait Kedudukan dan Kerugian Pemohon, pada Angka 9 pemohon menegaskan legal standing-nya sebagai pihak yang dirugikan karena pemohon mengidolakan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang kita ketahui bersama merupakan anak dari Joko Widodo Presiden RI saat ini, secara yuridis argumentasi ini tidak dapat diterima sebab pemohon bukan merupakan pihak yang dirugikan langsung dengan adanya norma hukum pada Pasal yang diuji materil.
Kedua, Pada Pasal 1 Angka 9 Peraturan MK 1/2023 terkait kode etik dinyatakan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang terdapat konflik kepentingan keluarga. Dalam konteks Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentunya ketua MK Anwar Usman yang ikut memutus perkara ini memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dengan Gibran Rakabuming Raka yang kemudian memiliki kepentingan dengan perkara yang diputus yakni terkait batas usia Capres dan Cawapres.
Ketiga, Pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, dengan objek permohonan yang sama yakni terkait batas usia Capres Cawapres yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi dan tidak dihadiri oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang.
Pertanyaan ontologisnya adalah apa yang membuat sikap hakim MK berubah pada RPH selanjutnya dalam memutus Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 dengan objek perkara yang sama, yang dihadiri oleh ketua MK?
Dari beberapa indikator yang dipaparkan di atas tentunya membuat utuh persepsi publik bahwasanya ada intervensi kekuasaan dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, maksud intervensi tersebut tidak lain dan tidak bukan dapat ditafsirkan sebagai cara untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka untuk dapat mendaftarkan diri sebagai Cawapres.
Adanya kejanggalan dalam putusan MK yang dikorelasikan dengan keikutsertaan Gibran sebagai Cawapres tentunya menjadi preseden buruk demokrasi yang dapat dimaknai sebagai legitimasi terhadap eksistensi politik dinasti. Melihat relasi antara politik dan kekeluargaan sama halnya dengan melihat realitas penegakan hukum dengan hubungan kekerabatan, akan sangat sulit untuk membenturkan asas equality before the law (persamaan di hadapan hukum) dengan relasi kekeluargaan.
Benar bahwa tidak ada norma hukum yang melarang praktik politik dinasti, namun secara etik dan moral demokrasi tentunya ini merupakan ekses buruk terhadap perkembangan demokrasi. Politik dinasti tentunya tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan sumberdaya kekuasaan yang dimiliki oleh petahana yang digunakan untuk memperkuat kepentingan pribadi dan atau kepentingan keluarga dalam mempertahankan kekuasaan, tentunya hal ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menghendaki adanya sirkulasi yang sehat dalam hal pergantian dan pengisian jabatan publik.
Fenomena campur tangan pemegang kekuasaan dalam kontestasi politik tentunya membenarkan tesis Robert Mitchel tentang Oligarki Demoksi bahwasanya demokrasi langsung melalui jalan Pemilu, ibarat pisau bermata dua. Pada satu sisi memberikan peluang sebebas-bebasnya seluruh lapisan masyarakat yang mempunyai syarat memilih dan dipilih untuk berkontestasi dalam Pemilu namun pada saat bersamaan, kebebasan tersebut seperti dikorupsi dan didistorsi oleh para pemilik modal yang berkolaborasi dengan elit politik. Sehingga yang berpeluang memenangkan Pemilu adalah mereka yang memiliki modal “uang dan power” yang lebih banyak.***