Jakarta,CakraNEWS.ID- Aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja (Onimbus Law), yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dan berujung pada aksi anarkis serta pengerusakan fasilitas Pemerintah juga melukai aparat Kepolisian yang melakukan pengamanan, mendapat tanggapan serius dari Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas RI).
Dari kejadian-kejadian unjuk rasa yang terjadi di wilayah-wilayah Indonesia, yang di dalamnya ditunggani aksi anarkismes, di sikapi Kompolnas RI dengan meminta Polri untuk mengambil langkah tegas, dalam mengusut tuntas aktor intelektual di balik aksi anarkisme unjuk rasa tersebut.
“Saya justru sependapat dengan adanya dugaan bahwa demo serentak yang berakhir anarkis di kota-kota besar di Indonesia ada yang menyeting untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu saya berharap Polri dapat mengungkap siapa aktor intelektual di belakangnya. Termasuk menyelidiki beredarnya berita-berita hoax yang meresahkan masyarakat,” ungkap juru bicara Kompolnas RI, Poengky Indarti, SH, LLM, kepada wartawan di ruangan kerjanya, Kamis (15/10/2020).
Menurutnya, jika demonstrasi berjalan tertib sesuai aturan hukum, tidak mungkin aparat Kepolisian membubarkan demonstrasi. Jika demonstrasi dilakukan dengan cara anarkis, para pimpinan demo tidak mampu mengontrol massanya, hal tersebut fatal.
“Saya melihat aparat Kepolisian sudah melaksanakan tugasnya untuk menjaga agar situasi tetap kondusif, tetapi ada kelompok-kelompok yang memancing dan memprovokasi massa sehingga aksi menjadi anarkis. Hal tersebut terjadi di hampir semua wilayah. Coba lihat yang terjadi di Jakarta, Malang, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Polisi, kendaraan polisi dan pos polisi sengaja diserang. Bahkan di Ambon Kapolda diserang dengan lemparan batu,”tutur Poengky.
Poengky menuturkan, langkah tegas yang dilakukan Polri masih dalam koridor hukum. Namun tindakan anarkis para pengunjuk rasa justru telah mencederai demokrasi. Oleh karena itu polisi berwenang melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindakan anarkis saat demo.
Poengky mengatakan, adanya korban luka dari pengunjuk rasa, jurnalis dan bahkan dari pihak Kepolisian sendiri harus dilihat kasus per kasus. Tidak fair jika yang disalahkan semata-mata polisi.
“Harus dilihat dengan komprehensif tentang demonstrasi, terjadinya aksi-aksi anarki dan tindakan penegakan hukum yang dilakukan Polri. Saya melihat beredar viral video yang menunjukkan polisi memukul peserta demo atau polisi menembakkan gas air mata yang dituding merupakan bentuk kekerasan. Kita tidak bisa menilai dari video sepotong-sepotong yang diviralkan,”Ucapnya.
Poengky mencontohkan, jika melihat video di Pejompongan misalnya, di situ jelas tindakan penyerangan yang dilakukan demonstran dengan merusak mobil polisi dan menyerang aparat, maka berdasarkan protap anti anarki anggota Polri berwenang menggunakan kekerasan guna penegakan hukum, karena dalam konteks itu polisi adalah sebagai penegak hukum.
Tahapan-tahapannya termasuk kendali tangan kosong, kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, hingga yang paling maksimal adalah dengan menggunakan senjata api jika tindakan pelaku anarki dapat mengakibatkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
“Polisi berwenang membubarkan kerumunan massa dengan water canon atau dengan gas air mata. Semuanya dilakukan setelah peringatan yang disampaikan polisi tidak diindahkan massa,”Ujarnya.
Peongli menuturkan, jika demo berjalan damai, go a head. Silahkan. Karena demo itu hak semua orang sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Tetapi ingat, kebebasan tersebut tetap harus mematuhi hukum dan menjaga ketertiban. Jika anarki, polisi wajib menindak tegas.
Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, seharusnya semua orang bertanggungjawab menjaga agar tidak terjadi penularan yang meluas. Mencegah penyebaran Covid-19 akan mempercepat Bangsa dan Negara ini kembali pulih perekonomiannya.
“Penyebaran hoax dan distorsi informasi terkait Undang-Undang Cipta Kerja juga banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu saya mendukung Polri bertindak tegas dalam melakukan patroli cyber dan penegakan hukum bagi para pelaku kejahatan penyebaran berita bohong,”Tegasnya.
Pongky mengatakan, di era digital ini masyarakat harus dapat mencerna berita-berita yang diterima dan bijak menyikapinya.
“Saya memantau aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan secara serentak di kota-kota di Indonesia yang menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Pantauan tersebut ada yang saya lakukan langsung, ada yang berdasarkan berita-berita media, dan ada yang saya peroleh dari jaringan,”Ucapnya.
Ia mengatakan, dari pantauan tersebut, ada 3 pernyataan yang tampak menonjol dan menjadi catatan aksi unjukrasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja :
- Massa yang berkerumun tidak mematuhi Protokol Kesehatan sehingga rentan menimbulkan cluster Covid-19;
- Massa yang dimobilisir dan belum semuanya paham dengan apa yang dilakukan, asal ikut saja karena ada ajakan dari WA grup. Seperti yang bisa kita lihat saat beberapa pelajar mengaku tidak tahu saat ditanyai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, serta
- Massa yang pada akhirnya bertindak anarkis dan menyerang aparat Kepolisian serta merusak fasilitas umum. (CNI-01)