Maluku,CakraNEWS.ID- Child grooming atau modus kejahatan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur melalui media sosial (medsos),masih menjadi perhatian serius oleh Kepolisian Daerah Maluku.
Solusi penanganan masalah kejahatan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur melalui medsos, dikemas oleh Polda Maluku, dengan menggelar dialog publik.
Dialog publik yang berlangsung di kantor RRI Ambon, Kamis (3/6/2021) menghadirkan tiga narasumber, Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Provinsi Maluku, diwakili Kepala Bidang Pelayanan Publik, Jhon Rumlawang, Pakar Psikologi Maluku, Theophanny Rumpisela, dan Pimpinan LSM Gasira Maluku Dr. Elizabeth Ch Marantika.
Pakar Psikologi Maluku, Theophanny Rumpisela mengaku, umumnya pelecehan seksual yang terjadi terhadap anak di bawah umur dilakukan oleh orang dekat.
“Semua berawal dari hal yang biasa hingga berujung pada pelecehan. Seperti mengajak jalan bersama, memberi hadiah dan berlanjut pada permintaan berbagai hal yang bersifat seksual, hingga terjadi pelecahan seksual,”ucap Theophanny Rumpisela
Selain itu, Theophanny juga meminta para orang tua atau guru di sekolah untuk mengedukasi hal yang positif terhadap anak. Khususnya dalam penggunaan medsos, agar dapat memberikan penjelasan tentang bahaya akibat penyalahgunaannya.
“Di kota Ambon pada khususnya saat ini masih banyak anak yang menjadi korban pelecehan seksual lewat medsos,” katanya.
Para korban pelecehan seksual tersebut, kata dia, banyak yang tidak diketahui. Sebab, umumnya para korban ini tidak tau harus berbuat apa atau melapor ke mana.
“Mereka yang menjadi korban ini juga malu dan takut sehingga tidak mau terbuka sehingga kasus pelecehan seksual di medsos terus meningkat akibat para pelaku yang tidak pernah tersentuh hukum,” katanya.
Sementara itu, pimpinan LSM Gasira Maluku Dr.Elizabeth Ch Marantika, mengatakan, kejahatan seksual di medsos berawal dari percakapan yang tidak wajar antar anak dengan pelaku.
“Dibutuhkan pengawasan yang ketat dari orang tua dengan memperketat atau mempersempit ruang anak dalam menyerap atau mengakses informasi tidak pantas di medsos,” ingatnya.
Rata-rata anak yang menjadi korban pelecehan seksual di kota Ambon, kata Elizabeth, berada pada kisaran usia 12 sampai 13 tahun.
“Olehnya itu aparat keamanan khususnya Polresta Ambon yang punya wilayah hukum harus melihat hal ini dengan serius,” pintunya.
Bahkan, Elizabeth mengaku sangat miris melihat korban pemerkosaan mengalami infeksi atau penyakit kelamin. Hal itu terjadi akibat diperkosa oleh pelaku yang menderita penyakit kelamin. Ini bisa berujung kepada kematian.
“Hal ini tidak terdeteksi karna mereka yang menjadi korban juga menarik diri akibat malu, atau takut karena ancaman dan sebagainya sehingga berdampak pada psikologis yang bersangkutan hingga tidak mau menceritakan kejadian yang dialaminya,” ungkapnya.
Senada, Jhon Rumlawang, Kabid Pelayanan Publik Infokom Maluku, mengaku pengawasan orang tua terhadap anak dalam penggunaan internet harus ditingkatkan.
Pengawasan yang ketat oleh orang tua juga mengacu kepada penyampaian Presiden tentang penggunaan internat yang baik dan bertanggung jawab dalam kemajuan bangsa dan negara.
Saat ini, lanjut dia, sebagian besar masyarakat di Indonesia menggunakan medsos. Hal ini dapat berubah fatal kalau penggunaannya kearah yang negatif.
Oleh karenanya, edukasi dan literasi digital yang positif sangat penting untuk terus disosialiasi di era digital saat ini.
“Kami saat ini juga memiliki aplikasi yang dapat melacak akun palsu atau sesat. Jika ada masyarkat yang akunnya menjadi korban di medsos dapat melaporkannya agar bisa dilacak dan diblokir,” terangnya. (CNI-01)