Jakarta,CakraNEWS.ID- Polri menangani 33 kasus terkait penimbunan obat terapi untuk pasien COVID-19, tabung oksigen palsu dan penjualan obat terapi pasien COVID-19 di atas harga eceran tertinggi (HET). Dari puluhan kasus itu, Polri menetapkan 37 orang sebagai tersangka.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Helmy Santika menyatakan obat-obat COVID-19 yang ditimbun itu bakal diedarkan ke masyarakat. Helmy menjelaskan obat itu akan dijual sesuai HET.
“Terhadap barang bukti ini nanti kami akan melakukan diskresi kepolisian, restorative justice di mana kita juga harus memberi manfaat. Sehingga kita akan lakukan penyisihan barang bukti, kita koordinasi dengan Kejaksaan, Kemenkes, BPOM, termasuk dengan gabungan pengusaha besar farmasi,” ujar Brigjen Helmy Santika, Rabu (28/7/2021).
“Kita akan dorong ke masyarakat dan tentunya dijual sesuai HET,” sambungnya. Brigjen Helmy mengatakan keuntungan dari hasil penjualan obat-obatan itu akan diserahkan ke pemilik barang.
“Keuntungan untuk pemilik barang. Tapi perkara jalan terus,” ucap Helmy.
Brigjen Helmy menjelaskan penjualan obat yang ditimbun para pelaku merupakan bentuk diskresi. Helmy berharap obat sitaan yang dijual kembali dari pelaku bermanfaat di tengah kelangkaan obat.
“Terhadap barang bukti ini kita juga harus bisa beri kemanfaatan hukum. Kemanfaatan bagi masyarakat bahwa situasinya masih terjadi kelangkaan obat di pasaran. Sehingga kita akan lakukan diskresi,” katanya.
Atas perbuatannya itu, para pelaku yang menjual obat COVID-19 di atas HET dikenakan Pasal 196 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 62 Jo Pasal 10 UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mereka terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
“Kemudian terhadap UU Perlindungan Konsumen tadi maksimal 5 tahun dan maksimal 2 tahun. Ini terhadap yang menjual di atas HET,” ucap Helmy.
Sementara itu, para tersangka yang mengubah tabung APAR menjadi tabung oksigen dikenakan Pasal 106 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Kemudian Pasal 197 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 62 Jo Pasal 8 UU No 8 tentang Perlindungan Konsumen. Mereka terancam pidana penjara paling lama 15 tahun. (CNI-01)