CNI,OPINI – Pemilu merupakan sirkulasi kekuasaan yang paling demokratis. Lewat pemilu-lah publik akan terlibat secara aktif dalam menentukan arah perubahan bangsa.
Di negara-negara yang mapan institusi demokrasinya, seperti di Amerika, Brazil dan India, termasuk Indonesia sendiri, rakyat dianggap sebagai subjek yang punya kuasa lebih untuk menentukan siapa yang layak menjadi presiden dan wakil rakyat (Legislator dan Senator). Orang-orang yang punya track record dan rekam jejak mumpuni serta sarat akan pengalaman memimpinlah yang akan dilirik oleh pemilih (popular vote).
Tentu, dalam konteks ini rakyat memiliki legitimasi politik yang sangat kuat. Sehingga ada ungkapan yang sangat melegenda di awal-awal masa pencerahan (renaissance), yakni: “Vox Populi Vox Dei”. Ini ungkapan paling spektakuler di zamannya, bahkan sampai di era serba digital ini kalimat suara rakyat adalah suara Tuhan menjadi terminologi yang sering digunakan dalam memberikan posisi terhormat buat rakyat.
Itu artinya, ditangan rakyatlah proses konsolidasi demokrasi akan mendapatkan momentum kedigdayaannya. Orang-orang terbaik dengan prestasi mentereng dan kapasitas memimpinlah yang dianggap layak mewakili aspirasi publik di pemerintahan. Itu kalau pemilihnya mampu memaksimalkan kapasitasnya sebagai wakil Tuhan dalam aral demokrasi. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kalau para pemilih tidak mampu menjaga integritas suaranya dan secara ekstrim menggadaikan legitimasi kuasanya hanya karena persoalan rupiah atau hal lain yang tidak lagi on the track dengan semangat Vox Populi Vox Dei?
Menatap Pemilu 2019
Tahun depan adalah tahun yang sangat menentukan bagi bangsa ini. Di tahun inilah dua agenda penting akan digelar sekaligus. Pilpres dan pileg menjadi sarana bagi warga untuk ikut terlibat dalam mencari figur terbaik yang dianggap berkompeten dan memiliki integritas politik yang memadai untuk menahkodai aspirasi rakyat.
Untuk itu, penting bagi para pemilih di Indonesia khususnya yang ada di Maluku untuk bisa menjaga integritas preferensi politiknya sehingga pilihan-pilihan yang mahal itu bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
2019 adalah momentum yang sangat krusial. Selain karena ini adalah hajatan periodik yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, pemilu juga punya makna yang strategis untuk kepentingan bersama. Minimal pemilu tidak hanya sebatas ritual demokrasi belaka yang sifatnya hanyalah formalitas, tapi lebih dari itu pemilu harus benar-benar dijadikan sebagai alat bargaining bagi para pemilih untuk menyeleksi setiap calon terbaik yang nantinya jadi presiden-wakil presiden maupun yang akan duduk di parlemen. Sehingga rakyat tidak hanya dijadikan sebagai objek yang stempel politiknya hanya dibutuhkan saat-saat pemilu saja, tapi lewat mekanisme yang demokratis ini justru keberadaan rakyat benar-benar bisa diposisikan sebagai pemegang mandat tunggal yang powerfull kuasa politiknya di republik ini.
Pemilih Berkualitas
Salah satu progress demokrasi yang bisa kita ukur adalah dengan melihat kualitas pemilihnya. Dan pemilih yang berkualitas itu akan tercapai dalam sebuah kontestasi politik terkecuali para pemilihnya berintegritas dalam menentukan preferensi politiknya sebagai pemilik mandat yang sah.
Dinamika pemilih inilah yang sebenarnya sangat kita butuhkan dalam setiap hajatan demokrasi. Proses konsolidasi pemilih berintegritas ini sendiri sebenarnya telah digaungkan oleh KPU dan Bawaslu dan di support oleh lembaga-lembaga non profit seperti Perludem dan lain-lain. Langkah ini dilakukan agar menjauhkan para pemilih dari politik transaksional yang menyandra akal sehat para pemilih.
Di Maluku sendiri kampanye ini sudah disuarakan oleh berbagai pihak. Pendidikan politik dengan berbasiskan pada nalar berfikir yang sehat menjadi diskursus tersendiri diruang publik yang di intensifkan lewat berbagai diskusi dan seminar.
Namun, menurut saya, upaya yang dilakukan oleh KPUD dan Bawaslu Provinsi Maluku belum secara maksimal dilakukan. Pendekatan yang dilakukan terlalu formalistik sehingga sulit untuk diterima oleh para pemilih yang jauh dari akses kehidupan masyarakat perkotaan. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, di Maluku itu adalah daerah kepulauan yang letak geografisnya belum terjangkau oleh akses media sehingga proses sosialisasi yang dilakukan belum menyentuh akar pengetahuan sebagian warga di pelosok. Belum lagi, tingkat literasi media di daerah-daerah yang tak terjangkau masih sangat rendah.
Kedepannya, menurut saya upaya untuk menkampanyekan pemilih berintegritas oleh para pemangku kepentingan harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, kampanye tidak hanya dilakukan diruang-ruang sempit yang hanya bisa dijangkau oleh para pemilih yang ada di pusat-pusat kota saja, tapi gerakan ini harus dimasifkan ke seluruh pelosok yang ada pemukiman warga sehingga kesempitan pengetahuan warga soal pentingnya memilih calon yang kredibel dan bertanggungjawab terhadap amanah rakyat bisa teraktualisasi dengan baik.
Kedua, pola dan pendekatan sosialisasi juga harus di rubah. Mekanisme yang digunakan tidak boleh bersifat periodik ketika ada momentum saja. Pencerahan politik harus dilakukan secara berkelanjutan (sustinebel) sehingga kecerdasan pemilih juga akan mengalami peningkatan seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Maka mekanisme pendampingan dengan membentuk komunitas-komunitas di berbagai simpul masyarakat yang ada di daerah terpencil menjadi keharusan penting agar berbagai informasi soal pemilu bisa mereka update tiap saat.
Kalau pendekatan ini dilakukan secara baik dan konsisten maka saya yakin ekspektasi kita soal pemilih yang berintegritas di Maluku akan terwujud sebagaimana yang menjadi ekspektasi bersama. Dan kedepannya, Maluku bisa menjadi role model demokrasi lokal di Indonesia kalau pendekatan ini bisa dimaksimalkan dengan sangat konsisten.**
Penulis adalah Sekretaris Wilayah Ansor Provinsi Maluku, Masyhuri Maswatu.