Maluku,CakraNEWS.ID- Paham radikalisme dan anti Pancasila terhadap stabilitas keamanan di wilayah provinsi Maluku, menjadi tanding topik dialog publik, Kepolisian Daerah Maluku, bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Forum Penanggulangan Terorisme (FKPT).
Dialog publik secara interaktif yang berlangsung di studio kantor stasiun RRI Maluku, menghadirkan narasumber Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku, Abdullah Latuapo, Wakil Sekretaris Umum Sinode GPM, Pendeta Rudy Rahabeat, Ketua Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme Provinsi Maluku (FKPT), Abdul Rauf dan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Kombes Pol M. Rum Ohoirat, Selasa (23/3/2021).
Ketua MUI Maluku Abdullah Latuapo, mengakui masih terdapatnya kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat, yang memiliki paham bertolak belakang dengan Pancasila.
Menurutnya, untuk mengatasi persoalan tersebut, perlu untuk mendekati mereka memberikan pemahaman yang baik sebagai warga negara Indonesia.
“Tugas saat ini adalah bagaimana kita berupaya mendekati mereka dengan memberikan pemahaman bahwa saat ini mereka hidup di dalam negara Republik Indonesia,” katanya.
Sebagai warga Indonesia, Latuapo mengaku Pancasila merupakan dasar negara yang harus dijunjung tinggi dan taati.
“Jika di lihat dari pandangan Islam maka Pancasila merupakan suatu pilar atau lambang negara dan sarana pemersatu kita umat manusia di Indonesia,” ungkapnya.
Saat ini, kata Latuapo, MUI berperan bukan saja sebagai pemberi pembinaan kepada masyarakat terkait pemahaman agam yang baik, namun juga berfungsi mengawasi dan ikut dalam penyelesaian masalah di tengah umat.
“Kita semua pasti memiliki keinginan untuk menjadikan Maluku yang aman dan nyaman. Olehnya itu dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk Maluku yang damai,” jelasnya.
Wakil Sekretaris Umum Sinode GPM Pendeta Rudy Rahabeat, meminta agar persoalan radikalisme harus disikapi secara positif. Ia mengaku semua agama memiliki potensi radikalisme, tapi yang bersifat positif.
“Kita tidak bisa pungkiri bahwa disemua agama memiliki potensi radikalisme, namun dalam hal ini radikalisme yang bersifat positif adalah radikalisme dalam beragama bukan dalam melakukan aksi ekstrim dan kekerasan terhadap manusia atau fasilitas yang bertolak dengan paham tersebut,” jelasnya.
Rahabeat mengatakan, saat ini GPM telah menjadikan gereja sebagai gereja orang basudara, gereja pela gandong anak Maluku.
“Tujuannya adalah untuk membangun kembali suasana kehidupan orang basudara yang mulai renggang dan terkikis oleh kondisi saat ini,” terangnya.
Ketua FKPT Maluku, Abdul Rauf, menyebutkan, paham radikalisme seperti gunung berapi. Tapi tak ada yang mengetahui kapan gunung itu akan meletus.
“Saat ini mereka yang terpapar paham radikal kian bertambah. Hingga saat ini ada empat belas warga Maluku yang terindikasi sebagai mereka yang ektrim memiliki pemahaman yang sangat berbahaya,” ungkap Rauf.
Untuk menangani permasalahan tersebut, Rauf mengaku pengawasan bukan saja dilakukan aparat, tapi oleh seluruh elemen masyarakat di lingkungan tempat tinggal masing-masing.
Rauf mengibaratkan mereka yang menyebar paham radikal seperti bunglon. Apa saja akan dilakukan untuk mencapai tujuan.
“Jangan biarkan mereka yang terindikasi terpapar paham radikalisme ini sendiri. Rangkul dan ajak mereka dalam hal yang positif, gandeng tokoh agama sebagai pemberi pencerahan kepada mereka sehingga mereka dapat memahami ajaran agama yang sebenarnya,” pintanya.
Ia menambahkan, pihaknya saat ini sudah menjalankan program deradikalisasi yang menyentuh ke semua lapisan masyarakat, terkhusus anak muda dan pelajar.
“Setiap tahunnya sudah ratusan orang yang meninggalkan paham radikal, mereka ini adalah yang sudah memahami benar bahaya dari paham radikal yang mereka ikuti dan dengan sukarela dan sadar mereka kembali kepada kondisi semula sebagai warga negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan NKRI,” terangnya.
Kabid Humas Polda Maluku M. Rum Ohoirat, mengaku radikalisme merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan, termasuk di wilayah Maluku.
“Olehnya itu tugas kita adalah bagaimana membina mereka yang memiliki paham radikalisme ini dengan berkordinasi dengan instansi fungsi terkait,” pintanya.
Juru bicara Polda Maluku ini menjelaskan, mereka yang terpapar paham radikalisme, disebabkan karena pemahaman agama yang sempit.
“Mereka ini dimasuki paham sesat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan tujuan politik dan kepentingan pribadi atau kelompoknya,” ujarnya.
Orang yang diketahui terpapar paham sesat tersebut, pinta Ohoirat, jangan dijauhi. Sebab, bila dibiarkan sendiri tanpa ada kesibukan yang positif, mereka akan mengembangkan paham radikal tersebut sehingga akan menular kepada masyarakat lainnya secara diam-diam.
“Selain paham radikalisme saat ini yang sangat dikhawatirkan juga adalah penyebaran berita hoax,” katanya.
Berita hoax yang marak beredar di media sosial, kata Ohoirat, juga sangat mengkhawatirkan. Sehingga Polda Maluku saat ini telah memiliki unit khusus yang tugasnya mengawasi dan memonitor setiap aktifitas akun sosial.
“Jika ditemukan ada yang mempublikasikan atau menyebar berita atau informasi hoax maka akan langsung dilakukan penindakan terhadap si pemilik akun tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut dikatakan, masalah terorisme tidak terlepas dari persoalan politik. Sebelum terjadinya konflik sosial, kehidupan orang Maluku sangat baik dan ramah. Semua masyarakat hidup dalam keadaan damai.
“Namun setelah terjadi konflik sosial pada tahun 1999 lalu kehidupan masyarakat Maluku saat ini menjadi berubah dengan drastis. Olehnya itu pentingnya saat ini kita rubah mainset pemahaman masyarakat Maluku dalam membangun kehidupan orang basudara,” ajaknya. (CNI-01)