Jakarta,CakraNEWS.ID- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy O.S. Hiariej menyampaikan enam poin revisi terkait Rancangan Undang-Undang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Eddy Hiariej menyampaikan penjelasan pemerintah pada Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR. Dia mengatakan saat ini semakin meningkat jumlah penyalahgunaan dan peredaran gelap dan prekursor narkotika.
“Pemerintah mengutamakan penguatan pencegahan dalam menangani penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum, serta kapasitas lembaga pemasyarakatan,” kata Eddy di Gedung DPR Senayan, Senin (23/5/2022).
Wamenkumham menambahkan, upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara aparat penegak hukum dengan masyarakat.
“Upaya ini sangat diperlukan mengingat tren perkembangan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika masih tinggi. Hal tetsebut merupakan salah satu alasan untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 35 tahun 2009,” lanjut Wamenkumham.
Berikut adalah enam poin yang disampaikan. Pertama, Zat psikoaktif Baru (New Psychoactive Substance/NPS). Kedua, penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai rehabilitasi. Ketiga, tim Asesmen terpadu. Keempat, Penyidik Badan Narkotika Nasional serta kewenangannya. Kelima, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu serta penetapan status barang sitaan. Keenam, penyempurnaan ketentuan pidana.
Menurut Wamenkumham, dalam Undang-Undang Nomor. 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam pelaksanaannya belum memberikan konsepsi yang jelas tentang pecandu narkotika, penyalah guna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika dengan bandar ataupun pengedar narkotika. Hal ini menimbulkan ketidak adilan dalam penangannya.
“Seharusnya penanganan terhadap pecandu narkotika, penyalah guna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika difokuskan pada upaya rehabilitasi melalui mekaniame asesmen yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan,” ucap Eddy.
Asesmen tersebut dilakukan oleh tim asesmen terpadu yang berisikan unsur medis dan unsur hukum. Tim asesmen terpadu ini akan mengeluarkan rekomendasi apakah pecandu narkotika, penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika akan direhabilitasi atau tidak.
Pengutamaan pendekatan rehabilitasi dibandingkan dengan pidana penjara merupakan bentuk restorative justice yaitu salah satu upaya pendekatan penyelesaian perkara pidana yang lebih menekankan pemulihan kembali keadaan korban ke keadaan semula dengan melibatkan berbagai pihak.
“Kebijakan untuk lebih mengedepankan upaya rehabilitasi ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi over crowded lembaga pemasyarakatan,” tutur Eddy Hiariej. *(CNI/Humas Kemenkumham RI)