Hari Raya Qurban: Sejarah Idul Adha, Makna, Hakikat, dan Aturan Menyembelih Hewan
Idul Qurban atau yang lebih populer disebut dengan Idul Adha adalah salah satu hari besar yang dirayakan oleh seluruh umat Islam di dunia.
Di Indonesia sendiri, penganut agama Islam melestarikan budaya potong hewan qurban sebagai salah satu bentuk ibadah dan keikhlasan kepada Allah SWT.
Kewajiban untuk berkurban ini bermula dari kisah Nabi Ibrahim yang mendapat peintah dari Allah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail, sebagai bukti ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah SWT.
Hari Raya Qurban atau dikenal dengan Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Idul Adha juga merupakan puncaknya ibadah Haji,
Sejarah Qurban
Seperti yang sudah disebutkan sekilas di atas, sejarah qurban sendiri hadir dari sejak kisah Nabi Ibrahim AS ketika menyembelih anaknya, Nabi Ismail atas perintah Allah SWT. Tradisi tersebut pun dilestarikan dari waktu ke waktu hingga masyarakat Arab jahiliyah menyembelih berhala.
Dilansir dari Islam NU, tradisi penyembelihan hewan qurban sendiri pun akhirnya tiba pada era Nabi Muhammad SAW.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan masyarakat Arab jahiliyah memiliki tradisi penyembelihan hewan dari sudut pandang fisik yang diperuntukkan bagi berhala mereka.
Pada masa itu, hewan qurban disembelih dan disembahkan pada berhala. Mereka pun kemudian memercikkan darah qurban itu pada berhalanya.
Kemudian Allah menurunkan surat Al-Hajj ayat 37 yang berbunyi dan memiliki arti berikut;
Lay yanālallāha luḥụmuhā wa lā dimā`uhā wa lākiy yanāluhut-taqwā mingkum, każālika sakhkharahā lakum litukabbirullāha ‘alā mā hadākum, wa basysyiril-muḥsinīn
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah sama sekali, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya atas kamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Mengutip hadist dari Rasulullah, Ibnu Katsir mengungkapkan;
“Sungguh, Allah tidak melihat bentuk dan hartamu, tetapi melihat hati dan perbuatanmu.” Hadits Rasulullah riwayat Aisyah RA menyebutkan, “Sungguh, sedekah itu akan sampai di ‘tangan’ Allah yang bersifat rahman sebelum sampai di tangan pengemis. Sungguh, darah hewan kurban menetes lebih dahulu di sisi Allah sebelum tumpah ke tanah.” (HR Ibnu Majah dan At-Turmudzi).
Ayat di atas pun menggambarkan penerimaan Allah atas amal hamba yang ikhlas.
Dikisahkan pula bahwa sahabat Rasul pada awalnya ingin melakukan penyembelihan kurban, mencincang daging dan menempatkannya di sekitar Ka’bah serta memercikannya dengan darah kurban sebagai bentuk kekaguman terhadap Ka’bah serta rasa cinta kepada Allah.
Karena hal tersebut, Allah pun akhirnya menurunkan Surat Al-Hajj ayat 36 yang berbunyi;
Wal-budna ja’alnāhā lakum min sya’ā`irillāhi lakum fīhā khairun fażkurusmallāhi ‘alaihā ṣawāff, fa iżā wajabat junụbuhā fa kulụ min-hā wa aṭ’imul-qāni’a wal-mu’tarr, każālika sakhkharnāhā lakum la’allakum tasykurụn
Artinya: Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Ketika bangsa Arab sudah memeluk agama Islam dan meninggalkan masa jahiliyah namun masih ingin melestarikan tradisi tersebut, Surat Al-Hajj ayat 36 pun hadir dan menegur mereka atas tujuannya tersebut.
Surat Al-Hajj ayat 36 sendiri pun kemudian menunjukkan praktik ibadah qurban yang lebih layak dan patut untuk dijalankan oleh umat Islam.
Dalam tafsir Abu Hayyan diterangkan bahwa Surat Al-Hajj ayat 31 sendiri menerangkan bahwa daging qurban yang disedekahkan serta darah hewan yang tumpah tidak akan mengenai keridahaan Allah. Sedangkan orang yang berkurban tidak akan menemukan ridha Allah kecuali menjaga niat, rasa ikhlas serta kehati-hatian dalam menjaga kaidah syariat.
Jadi, jika hal yang sudah disebutkan di atas tidak dijaga, maka ibadah qurban yang dilakukan tak akan bermanfaat bagi orang yang berkurban meski hewan yang disembelih memiliki jumlah yang banyak.
Hukum Qurban
Ibadah menyembelih hewan ketika Idul Adha memiliki hukum sunnah muakkad. Sunnah muakkad sendiri adalah hukum sunnah yang dikuatkan.
Nabi Muhammad SAW tidak pernah meninggalkan ibadah ini sejak disyariatkan hingga Nabi meninggal dunia.
Melansir Islam NU, hukum ibadah ini sebagai sunnah muakkad telah dikukuhkan oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’i.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah memiliki pendapat bahwa ibadah menyembelih hewan pada Idul Adha sendiri untuk penduduk yang mampu dan tidak dalam keadaan safar atau bepergian adalah wajib.
Dalam Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dikatakan bahwa menyembelih kurban adalah sunnah Rasul yang sarat akan hikmah dan keutamaan.
Aisyah menuturkan, Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117).
Hakikat Idul Adha
Pada hakikatnya, menyembelih hewan ketika Idul Adha dalam dimensi vertikal adalah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Alla agar mendapatkan keridhaan-Nya.
Meski demikian, dalam dimensi sosial, hal tersebut memiliki tujuan agar bisa turut membahagiakan saudara kita yang kurang beruntung di Hari Raya Adha.
Seperti pada Hari Raya Idul Fitri saudara kita dibahagiakan dengan zakat fitrah, maka di hari besar ini mereka akan mendapatkan daging hewan.
Jadi, daging tersebut hendaklah diberikan pada saudara kita yang membutuhkan. Kita pun boleh menyisakan secukupnya untuk keluarga. Meski demikian, tetaplah untuk mengutamakan saudara kita yang kurang beruntung.