Oleh: Rony Zadrak Samloy,SH
“SENYUM MENUTUPI LUKA DI TENGAH PRAHARA” Kalimat di atas sejatinya bukan judul sebuah novel atau sinetron jablai Indonesia, telenovela Mexico atau Drama Korea. Ini hanya bagian dari tugas mulia “menyuarakan suara mereka yang tidak dapat bersuara dengan berbagai alasan dan kondisi” yang diemban jurnalis itu “Kartika Eka Paksinya”. Maaf sengaja meminjam moto pengawal angkasa Indonesia.
Adagium “The Old Journalist Never Die” atau wartawan tua berpengalaman tak pernah mati, demikian menjadi modal awal untuk merangkaikan kisah pengabdian tenaga-tenaga medis di seluruh dunia, tentunya termasuk di antaranya tenaga-tenaga medis di sejumlah rumah-rumah sakit di Kota Ambon, Pulau Ambon dan keseluruhan Maluku, yang demi tugas kemanusiaan rela menggadaikan nyawa dan kebahagiaan pribadi melayani dan berupaya semaksimal mungkin menyelamatkan nyawa pasien2 yang diduga maupun positif terpapar virus corona (Covid-19) maupun pasien-pasien yang menderita penyakit-penyakit akut lainnya.
Tenaga-tenaga medis layak disebut pahlawan kemanusiaan karena nyawa mereka digadaikan demi nyawa yang lain. Kebahagiaan keluarga mereka dikorbankan demi kebahagiaan keluarga-keluarga yang lain. Kita mungkin hanya mampu melihat tenaga medis berpakaian bersih dan rapi sembari menebar senyum untuk dinikmati jiwa2 kosong lainnya. Kegembiraan adalah obat paling mujarab.
Ini fondasi dasar tenaga medis untuk menyelimuti duka hati maupun kehancuran hati orang-orang yang dilayani dengan totalitas. Tak pernah takut mati karena corona. Bekerja keras di bawah tekanan dan ancaman. Dalam kondisi darurat akibat covid-19 ini mungkin saja ada tenaga-tenaga medis yang dapat membagi senyum menutupi luka dengan suami, istri, anak-anak, ibu, bapak dan pacar dalam limit waktu tak lebih 2 jam.
Mengapa senyuman itu tetap manis sekalipun insentif yang dijanjikan Pemerintah melalui pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah akan memberikan insentif bagi para pahlawan kemanusiaan ini karena fakta empirisnya mereka berada di garda terdepan memutus mata rantai Covid-19. Insentif yang kabarnya diganjar Rp 250 ribu per bulan untuk masing-masing tenaga medis ternyata masih sebatas wacana dalam kurun 2 bulan terakhir di tengah bertambah panjang nya daftar tenaga-tenaga medis yang meninggal dunia akibat melayani pasien terjangkiti corona.
Ironisnya ketika data jumlah pasien terjangkiti virus corona disodorkan dengan tulus dan demi pencerahan justru oleh elit pemerintah dikomplain sebagai berita hoax. Elite pemerintah dapat saja mencari jalan sendiri dengan bermain catur di rumah, menyelam, memancing di pulau tak berpenghuni dan selfi di atas benteng peninggalan bangsa Eropa, tetapi tidak dengan tenaga medis.
Mereka mungkin tidak dapat tidur secara normal karena melayani dengan hanya diberikan sebotol sedang air mineral dan dua bungkus roti seharga Rp 2.000 sebagai penyeduh rasa kantuk, haus dan lapar. Pengorbanan dan pengabdian tenaga2 medis di Kota Ambon tidak selayaknya dihargai seperti itu. Apakah luka hati mereka terobati?Tidak dan tidak.
Bantuan peralatan kesehatan ternyata ada yang diduga salah sasaran. Mengapa begitu?.Tengok saja tak jarang tenaga-tenaga medis di RSUD bekerja tanpa dilengkapi pakaian anti corona, tetapi di bagian lain ada ASN bukan tenaga medis yang sengaja menggunakan pakaian anti covid-19 untuk berselfie. Tak hanya insentif. Hak-hak lain juga pura-pura diabaikan. Salut untuk seluruh tenaga medis di Ambon dan di seluruh dunia.