Jakarta,CakraNEWS.ID- Kasubdit V Dirtipidum Bareskrim Polri Kombes Pol Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan, aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual harus memiliki kompetensi. Dia mendorong aparat mengikuti pelatihan khusus.
“Agar aparat penegak hukum (APH) yang dimaksud adalah memiliki kompetensi dan mengikuti pelatihan. Ini memang harus dilaksanakan,” kata Jean dalam acara Konsultasi Publik DIM RUU TPKS dengan K/L, Masyarakat Sipil, dan Akademisi yang diikuti secara virtual di Jakarta, Senin (7/2/2022).
Menurut Jean, kompetensi tersebut penting untuk menghindari reviktimisasi terhadap korban. Karenanya, aparat mesti memiliki sensitif gender.
“APH juga harus memiliki sensitif gender untuk menghindari reviktimisasi pada korban.” imbuhnya.
Jean menjelaskan, penanganan kasus kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak menggunakan pendekatan restorative justice.
Terkait alat bukti dalam RUU TPKS, menurut dia, terdapat beberapa perluasan yakni berupa informasi atau dokumen elektronik, keterangan saksi atau korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik, dan keterangan saksi korban.
“Kemudian ada juga dimasukkan keterangan saksi korban sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah. Hal ini tentunya disertai dengan alat bukti sah lainnya dan keyakinan hakim,” katanya.
Jean juga mengajak para psikiatri dan psikolog untuk melapor jika menemukan tanda-tanda terjadinya kekerasan seksual pada klien mereka. Pasalnya, kasus kekerasan seksual adalah fenomena gunung es.
“Ini (kasus kekerasan seksual) adalah fenomena gunung es. Maka itu, apabila ada korban yang melakukan konseling, psikiatri, psikolog, dan tenaga kesehatan mungkin dapat menginformasikan jika menemukan tanda-tanda permulaan terjadi tindak pidana tersebut,” tuturnya. *CNI-01