Video Pesta Perpisahan Siswa Viral, DPRD SBT Ajak Refleksi Filosofis Makna Pendidikan

Adventorial Berita Pilihan News Pendidikan Politik

Bula, CaraNEWS.ID — Suasana haru perpisahan siswa SMA, SMK, dan MA angkatan 2025 se-Kota Bula yang semula penuh semangat dan kenangan, mendadak menjadi perbincangan hangat publik setelah sebuah video yang memperlihatkan pesta tak terkendali di akhir acara viral di media sosial.

Acara perpisahan yang digelar di Gedung Serbaguna Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Minggu malam (6/4/2025), memunculkan polemik usai beredarnya rekaman yang menampilkan aksi siswa-siswi larut dalam euforia pesta, tanpa pengawasan dari guru maupun panitia. Dalam video berdurasi beberapa menit tersebut, tampak siswa berjoget dan bersorak dalam suasana yang dinilai tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan.

Fenomena ini memantik kritik keras dari masyarakat. Banyak pihak menyayangkan kelalaian dalam pengawasan dan menyebut insiden tersebut sebagai bentuk kegagalan institusi pendidikan dalam menanamkan nilai etika dan tanggung jawab kepada para siswa. Kritik juga diarahkan kepada panitia acara yang dianggap tidak mampu menjaga suasana perpisahan tetap dalam koridor edukatif.

Namun, tanggapan berbeda datang dari kalangan legislatif. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten SBT, Azis Yanlua, justru mengajak publik untuk melihat peristiwa ini dari perspektif yang lebih mendalam.

Dalam video berdurasi 1 menit 56 detik yang diunggah pada Kamis (10/4/2025), politisi dari PDI Perjuangan ini menanggapi viralnya video tersebut bukan dengan kemarahan, melainkan dengan ajakan untuk merefleksi lebih dalam.

Ia memulai dengan menyentuh akar kata dari “sekolah” sebuah konsep yang, menurutnya, telah bergeser jauh dari makna dasarnya. Legislator muda SBT itu memberikan pandangan filosofis mengenai kejadian tersebut. Dimana, Yanlua mengurai asal-usul kata “sekolah” sebagai dasar refleksi.

“Secara ilmu pengetahuan, asal kata ‘sekolah’ berasal dari bahasa Yunani ‘schole’, yang berarti waktu luang,” jelas Azis. “Namun dalam konteks budaya kita hari ini, waktu luang justru sering dimaknai sebagai momen untuk berlibur atau bersenang-senang.”

“Merespon pertanyaan soal video viral adik-adik SMA sederajat di Bula intinya
Ini kesalahan pemahaman sekolah yang keliru,” tulis Yanlua di lansir dari beranda Facebook pribadinya @Yanlua Sopamena Chiko.

Menurutnya, interpretasi para siswa terhadap waktu luang dalam konteks acara perpisahan tersebut merupakan gambaran dari pemahaman kultural yang telah bergeser jauh dari makna aslinya.

“Ade-ade SMA di Bula itu sebenarnya sedang mengekspresikan pemahaman mereka tentang ‘schole’ hanya saja bentuknya telah mengalami distorsi,” tambahnya. “Waktu luang yang sejatinya digunakan untuk refleksi dan pengembangan diri, kini malah dimaknai sebagai ajang pesta.”

Yanlua yang juga Ketua Persatuan Alumni GMNI SBT itu juga menekankan bahwa pola pikir tersebut bukan semata-mata kesalahan generasi muda saat ini. Dia menyebut bahwa cara pandang tersebut telah diwariskan lintas generasi, bahkan oleh para alumni yang kini duduk di kursi pemerintahan.

“Ini bukan sepenuhnya salah mereka. Ini warisan budaya berpikir yang perlu kita evaluasi bersama,” ujarnya.

Ditambahkannya, peristiwa ini seyogianya menjadi titik tolak bagi semua pihak pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk kembali merefleksikan makna pendidikan secara utuh.

Sebagai Wakil Rakyat Yanlua menegaskan bahwa sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu, melainkan juga ruang pembentukan karakter dan pemahaman nilai kehidupan.

“Hal seperti ini memang sering kita jumpai di momen-momen perpisahan. Tapi yang penting adalah bagaimana kita menyikapi, memperbaiki, dan mendorong pendekatan pendidikan yang lebih bermakna ke depan,” terangnya.

Alumni SMA Negeri 11 Kota Ambon ini mengajak semua pihak baik pemerintah, pendidik, orang tua, hingga masyarakat luas untuk menjadikan kejadian ini sebagai momentum evaluasi. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk duduk bersama dan bertanya ulang: Sudahkah pendidikan kita benar-benar mendidik?

“Kesalahan bisa menjadi guru terbaik jika kita mau belajar darinya. Yang penting bukan pada seberapa keras kita mengkritik, tapi seberapa tulus kita membenahi,” katanya.***CNI-06

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *