Ambon, CakraNEWS.ID– POLEMIK akan status lamanya seseorang menjabat sebagai Pelaksana tugas harian (Plh) terkhusus di tubuh Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi Maluku hanya bisa selesai, bila mana telah aktif secara normal Sekda definitif. Sebab, jabatan Plh Sekda Maluku yang kini diamanahkan kepada Sadli Lie, bersifat tentatif.
Soal kapan seseorang menjabat Plh berakhir sejalan dengan adanya Sekda definitif, dijelaskan Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H., perspektifnya seperti ini, jika dilihat dari sudut pandang optik hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, secara yuridis perlu untuk dijelaskan dan didudukan dalam struktur hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang terkait sengan peristiwa hukum administratif yang terjadi saat ini.
Fahri Bachmid, mengajukan pertanyaan hipotesa bahwa apakah PLH Sekda cuman menjabat selama 15 hari,?ataukah lebih,? Untuk kepentingan itu, menurutnya, berdasarkan rumusan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Junto Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 TAHUN 2018 Tentang Penjabat Sekretaris Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2019 tentang Penunjukan Penjabat Sekretaris Daerah sama sekali tidak mengatur batas waktu serta sejauh mana PLH Sekda melaksanakan tugas-tugas rutin Sekretaris Daerah.
“Jika kita menggunakan metode penafsiran hukum secara sistematis berdasarkan ketentuan norma Pasal 4 Perpres No. 3/2018 disebutkan bahwa Kepala daerah menunjuk pelaksana harian apabila; sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas kurang dari 15 (lima belas) hari kerja; atau; dalam proses penerbitan keputusan pemberhentian sekretaris daerah kurang dari 7 (tujuh) hari kerja dan/atau pengangkatan penjabat sekretaris daerah,” jelasnya.
Artinya, menurut Fahri Bachmid, dalam konteks ini, kepala daerah/Gubernur selaku PPK maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat menunjuk pelaksana harian apabila Sekretaris Daerah tidak bisa melaksanakan tugas kurang dari 15 (lima belas) hari kerja, atau dalam proses penerbitan keputusan pemberhentian Sekretaris Daerah kurang dari 7 (tujuh) hari kerja dan/atau pengangkatan penjabat Sekretaris Daerah.
“Jadi, dengan demikian 15 hari kerja merupakan salah satu syarat kondisi faktual atau “Ipso Facto”tidak berfungsinya atau tidak bisa melaksanakan tugas sebagaimana mestinya oleh Adresat Sekretaris Daerah dalam kurun waktu kurang dari 15 hari, sehingga dengan demikian kaidah 15 hari kerja tidak dimaksudkan sebagai “time limit” bagi PLH Sekda untuk melaksanakan tugas rutinnya. Sebab, secara normatif jika ditafsirkan secara hati-hati, norma tersebut dapat dikaitkan serta mempunyai korelasi aktif dengan ketentuan norma pasal 5 Perpres No. 3/2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah,” papar Bachmid.
Hal ini jelas Sambung dia, sebagaimana dalam rumusannya, dalam ketentuan Ayat (1) disebutkan bahwa “Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengangkat penjabat sekretaris daerah provinsi untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah provinsi setelah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri,
Ayat (3) Masa jabatan penjabat sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan dalam hal sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas dan paling lama 3 (tiga) bulan dalam hal terjadi kekosongan sekretaris daerah.
“Serta ayat (4) Penjabat sekretaris daerah yang diangkat karena sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas meneruskan jabatannya paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya apabila terjadi kekosongan sekretaris daerah,” tegasnya.
Bahwa Mendasari konstruksi pengaturan diatas,maka tentunya PLH Sekda dapat menjalankan tugas-tugas rutin sampai dengan di aktifkan kembali Sekda definitif, atau ada kebijakan lain oleh Gubernur sebagai PPK maupun Wakil Pemerintah Pusat di daerah dengan persetujuan Mendagri untuk menunjuk Penjabat Sekretaris Daerah,semua kondisi serta kemungkinan kebijakan seperti itu sangat mungkin terjadi sesuai kebutuhan serta pertimbangan teknis pemerintahan, dan pada hakikatnya Gubernur berwenang penuh atas hal itu, kapan pun dia mau sesuai kebutuhan maka tentunya secara hukum dapat dibenarkan dengan dasar pertimbangan-pertimbangan hukum yang sangat mendasar, cermat dan mendalam,” simpul mantan Pengacara Presiden Jokowi pada saat sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi tahun 2019 yang lalu.*** CNI-02