Opini, CNI – Pada dasarnya, ide demokrasi terlahir sebagai bentuk protes atas sistem pemerintahan yang kontra produktif terhadap kepentingan rakyat. Dimana, sistem pemerintahan sebelumnya seperti monarki, feodalisme, otoritarianisme, dan lain sebagainya, senantiasa mempraktikkan kebijakan dan tindakan yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Dengan demikian, demokrasi ideal merupakan cita – cita luhur yang sangat diidam-idamkan oleh banyak kalangan dalam kerangka membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab dan berkeadilan.
Sebuah kondisi paripurna yang mana masyarakat telah merasakan kebebasan dalam melakukan setiap aktivitas politiknya yang bersifat positif, perubahan sosial di dalam masyarakat terjadi secara damai, negara menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia, kelompok mayoritas melindungi hak – hak kelompok minoritas, penegakan hukum dilaksanakan secara adil, dan relasi antara rakyat dengan negara selalu terjalin harmonis.
Metamorfosis Demokrasi di Indonesia
Pada tataran implementasi sistem politik, Indonesia telah mencoba menerapkan beberapa varian demokrasi yang dimulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi pancasila. Akan tetapi, berbagai varian demokrasi ini dinilai telah gagal menanamkan basis nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sesungguhnya untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puncak dari realitas tersebut, era reformasi hadir sebagai momentum penting akan lahirnya sebuah harapan besar tentang terejawantahnya tatanan dan sistem perpolitikan yang demokratis pun menggema di seantero negeri.
Dengan runtuhnya rezim Soeharto, kehidupan politik masyarakat mulai mengalami perubahan. Keran kebebasan telah terbuka lebar, pers tak lagi dikekang, masyarakat mulai bebas menyuarakan aspirasinya, bebas berpendapat dan berserikat, bebas melakukan kegiatan politik.
Sistem politik memang menunjukkan perubahan yang cepat kala itu. Namun dengan berlalunya waktu, pengalaman telah membuktikan bahwa era reformasi belum mampu menerapkan praktik – praktik politik yang demokratis sesuai dengan semangat reformasi yang digulirkan.
Wal hasil, demokrasi di era ini pun mengalami masa stagnasinya yang pada gilirannya justru menampilkan gagasan – gagasan yang paradoks dan ironi.
Mulai dari masa pemerintahan Habibie yang ditandai dengan penetapan MPR terhadap amandemen pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 dan lahirnya 66 Undang – Undang, kemudian masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang ditandai dengan munculnya konflik antara pemerintah dengan DPR yang berujung dengan diadakannya Sidang Istimewa pada tanggal 21 Juli 2001, selanjutnya masa pemerintahan Megawati yang ditandai dengan semangat privatisasi BUMN yang terkesan lebih menguntungkan investor asing, hingga masa pemerintahan Yudhoyono yang diharapkan dapat menjadi problem solver bagi penyelesaian problematika bangsa itu pun ternyata tidak mampu memberikan perubahan signifikan sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia pasca reformasi.
Meskipun, menurut Rais (2008), Kepemimpinan Yudhoyono menandai era baru demokrasi di Indonesia, dimana ia bersama Jusuf Kalla terpilih melalui Pemilu Langsung. Namun, pemimpin hasil Pemilu Langsung itu pun juga tidak dapat serta merta membalikkan keadaan sebagaimana yang diharapkan.
Data Indeks Demokrasi Indonesia Menurun
Dengan slogan “Kerja Kerja Kerja”, sosok Jokowi yang tampil ramah, sederhana, penyabar, yang mewakili karakter khas wong cilik atau wong ndeso, itu mampu menghipnotis mata dan hati mayoritas rakyat. Ditambah lagi dengan hadirnya figur Jusuf Kalla (JK) sebagai pendamping Jokowi di bursa pencapresan periode 2014 – 2019 semakin meyakinkan rakyat akan keniscayaan terwujudnya sebuah harapan besar.
Pengharapan itu pun kembali diletakkan di pundak mereka oleh rakyat yang masih mendambakan secercah cahaya keadilan dan kemakmuran. Namun, lambat laun kebijakannya dinilai tidak pro rakyat oleh sebagian kalangan.
Mereka pun mulai menunjukkan sikap pesimis dan antagonis terhadap masa pemerintahan Jokowi – JK. Hal itu kemudian terkooptasi dalam berbagai peristiwa sosial yang mengarah pada isu SARA, intoleransi, anti pancasila, anti NKRI, dan isu – isu lain yang semisalnya.
Realitas sosial tersebut sudah tentu akan mempengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan penurunan kinerja dari tahun 2014 – 2016. Di tahun 2014, IDI berada pada angka 73,04 (skala dalam 0 – 100), kemudian angka tersebut turun menjadi 72,82 di tahun 2015, dan di tahun 2016 angkanya turun lagi menjadi 70,09.
Walaupun, BPS mencatat ada kenaikan angkanya di tahun 2017 menjadi 72,11. Namun, dari data yang diluncurkan oleh tim riset dari The Economist di tahun 2017, IDI mengalami penurunan di tahun 2017.
Menurut Rizqi Bachtiar, dalam pemeringkatan indeks demokrasi terbaru, Indonesia berada di peringkat 68 dari 167 negara yang diteliti.
Uniknya, peringkat tersebut kalah dengan Timor Leste yang berada di peringkat 43. Bahkan, penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang terburuk dari 167 negara. Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada 2016. Indeks demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39 pada tahun 2017. Dilihat dari klasifikasi rezim, Indonesia termasuk dalam flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Rizqi Bachtiar menambahkan, Tim Riset dari The Economist mengungkapkan ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas demokrasi dunia di tahun 2017. Namun, ada dua hal utama yang secara umum menjadikan merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara, yakni; pertama, kekecewaan masyarakat berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara mereka tinggal, dan kedua, terabaikannya hak – hak asasi manusia.
Kedua parameter utama tersebut dapat dikomparasikan dengan kenyataan yang tersaji di depan mata kita saat ini untuk menilai kualitas demokrasi selama masa pemerintahan Jokowi – JK.
Semoga di sisa masa pemerintahannya ini, mereka masih dapat menuntaskan segala problematika bangsa. Apakah indeks demokrasi Indonesia akan terus mengalami penurunan? Apakah Indonesia akan tetap berada pada kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat) ataukah full democracy (demokrasi penuh)? Kita lihat saja nanti.***Moris
Oleh : Risal Samal (Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan Provinsi Maluku)
Isi diluar tanggung jawab redaksi