(Refleksi HUT ke-74 RI Negaraku Tercinta).
OLEH : S.J.Sisinaru.SH,M.Hum
Freedom house membuat laporan tahunan mengenai grafik indeks kebebasan aneka negara di dunia. Dalam laporan itu diketahui, kualitas kebebasan sebuah negara dapat naik dan turun. Bahkan lebih ekstrim lagi, sebuah negara dapat berpindah-pindahdari sistem demokratis menuju sistem otoriter dan balik menjadi sistem yang demokratis lagi dan kembali pula menjadi sistem otoriter.
Masa transisi demokrasi memang menjadi pertaruhan. Taiwan, korea selatan, afrika selatan dan brazil merupakan negara-negara yang dapat dikategorikan On the right track menuju demokrasi yang terkonsolidasi dan itu terbukti. Sementara itu, yugoslavia dan uni soviet menjadi contoh gagal transisi demokrasi. Dua negara itu bahkan sudah hilang dari peta bumi sejarah dalam perkembangan Negara dan Pemerintahan.
Sehari menjelang proklamasi 17 Agustus 2019 merupakan momentum yang baik untuk melakukan refleksi. Kita lupakan dulu pertarungan politik yang sangat praktis, seperti siapa yang akan menjadi presiden baru, atau apa implikasi politik dukungan oleh partai partai politik terhadap calon legislatif maupun calon Presiden.
Presiden yang akan dilantik, apapun komposisi pemerintahan baru, mereka akan menerima banyak pekerjaan rumah. Sukses atau gagal pekerjaan rumah itu, tidak hanya berdampak pada kinerja mereka sendiri, tetapi juga nasib demokrasi Indonesia, di era transisi Refolusi industri 4.0.
Ada empat pekerjaan rumah yang harus disukseskan jika kita ingin demokrasi di Indonesia mengelamai konsolidasi pembaharuan pasca Pemilu, dan tidak ingin Indonesia hilang dari peta dunia, seperti kasus Yugoslowakia dan Uni Sovyet.
Pekerjaan rumah pertama adalah soal Economic Recovery. Pemerintahan baru, Presidenn terpilih harus percepat ciptakan lapanagan pekerjaan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pengangguran menciptakan proses dehumanisasi. Namun pekerjaan tidak akan datang jika tidak ada investasi. Investasi tidak akan datang jika lingkungan yang ada tidak kondusif.
Seratus hari pertama pemerintahan baru Jokowi-Amin, presiden terpilih diharapakan membangkitkan kepercayaan para investor. Mereka harus diyakinkan, seyakin-yakinnya, bahwa indonesia adalah negara yang aman dan menguntungkan untuk investasi. Pembenahan akan dilakukan dan untuk tujuan itu, harus ada perubahan yang drastis dalam kepastian hukum, sistem keamanan, sistem perburuhan, sistem perpajakan, dan kompetisi berusaha yang sehat.
Tak ada gunanya pemerintahan dan reformasi birokrasi jika ia tidak mampu membuat rakyat tambah sejahtera. Begitu banyak dana pengusaha kita sendiri diparkir diluar negeri begitu banyak pengusaha asing yang ingin menanamkan investasi di Indonesia. Namun investasi tidak mengenal tanah air. Ia akan pergi dari wilayah yang tidak subur, tidak aman, tidak pasti dan tidak nyaman. Ia akan datang kemana saja sejauh wilayah itu kondusif bagi berkembangnya dunia usaha secara sehat, bebas, pasti dan adil.
Pekerjaan rumah kedua adalah rekonsiliasi. Masa silang tidak lagi dapat diubah. Pergantian kekuasaan dalam sejarah politik kita terjadi tidak secara damai dan elegan. Empat presiden kita terdahulu dipuja di awal namun dicerca diakhir masa jabatannya. Begitu juga pasca pemilu kemarin, kita di kotak kotakan dan di beda bedakan dengan Nomor Urut dan kaos serta relawan dan sim patisan yang juga terkukung dalam situasi perbedaan.
Sejarah kelam para pemimpin kita juga mengalami hal yang sama di puji awalnya dan di hiyanati akhir, sebut saja Bung Karno, Pak Harto dan Gusdur dipaksa berhenti ditengah jalan sementara Habibie ditolak pidato pertanggung jawabanya. Semua itu terjadi kempleksitas politik yang tidak dapat dikendalikan oleh satu kekuatan manapun.
Konfilik, dendam, kemarahan, dan luka sosial tercipta akibat proses politik dimasa silam ditambah lagi dengan kemarahan agama, etnis dan suku bangsa, potensi perpecahan di Indonesia sangat tinggi. Disharmoni itu tidak boleh dibiarkan apa adanya. Ia dapat berkembang seperti virus kanker yang mematikan yang makin lama menyerang sendi-sendi bangsa dan menjadi beban masyarakat.
Rakyat berhak untuk hidup tentram dan damai dengan sesama warga negara. Harus ada proses yang sengaja dibuat pemerintah untuk menyembuhkan aneka luka sosial politik. Pemerintahan baru diharapkan merekatkan kembali kebersamaan dalam proses rekonsiliasi.
Indonesia harus menjadi tenda besar buat semua warga negara. Tak boleh ada satupun warga Indonesia yang mengalami diskriminasi hanya karena warna kulit, agama maupun keyakinan politiknya. Indonesia adalah satu dan untuk semua merah putih menjadi pengikat batin.
Pekerjaan rumah ketiga adalah profesionalisasi aparat keamanan. Tak ada negara yang kuat tanpa tentara dan polisi yang kuat. Namun tidak ada pula negara demokrasi tanpa profesionalisasi polisi dan tentara. Rakyat berhak dari rasa aman dari serangan luar negeri maupun ancaman dalam negeri.
Salah satu proyek besar di era transisi adalah reposisi militer dan profesionalisasi polisi. Saman sudah demikian berubah. Tentara aktif tidak perlu terlibat dalam politik praktis. Secara bertahap tetapi pasti, militer aktif dibuat tidak lagi menempati jabatan publik dan tunduk kepada supremasi sipil.
Kita semua anti militerisme. Namun jangan dilupakan bahwa dalam sejarah dunia, militerisme dapat dilakukan oleh pimpinan militer maupun pimpinan sipil. Hitler dan Stalin adalah dua pimpinan sipil yang justru paling militeristik didunia.
Banyak pula contoh pemimpin yang demokratis, baik dari kalangan sipil maupun purnawirawan militer. George Whasington dan dan Dwight David Eisenhover adalah beberapa contoh purnawirawan militer yang cukup demokratis dan dihormati ketika mereka terpilih menjadi pemimpin nasional.
Polisi kini sudah terpisah dari militer. Mereka berdiri didepan untuk menjadi keamanan masyarakat. Profesionalisasi ditubuh polisi harus menjadi agenda utama capres terpilih. Harus ada perbaikan kurikulum, peningkatan disiplin, serta mekanisme kontrol ditubuh Polri sendiri sehingga polisi benar-benar menjadi pengayom masyarakat.
Perkrjaan rumah keempat adalah reformasi politik dan konsolidasi demokrasi. Kebebasan politik, partisipasi publik dan kompetisi yang terbuka bagi rakyat dalam memperebutkan jabatan publik adalah buah tepenting dari reformasi.
Demokrasi itu tidak boleh henti. Kebebasan yang ada justru menjadi energi yang efektif bagi semua pihak untuk saling mengontrol dan meminimalkan kesalahan.
Kompetisi terbuka dalam bisnis membuat harga menjadi lebih murah dan kualitas produksi menjadi lebih baik. Kompetisi terbuka dalam politik melahirkan hal yang sama. Output dan produk politik akan juga lebih berkuailtas.
Rakyat banyak akan mendapatkan berkahnya. Walau kadang dinilai tidak efisien dan berujung kepada konflik terbuka, mekanisme demokrasi dan partisipasi rakyat justru harus terus diperkuat dan dikosolidasikan. Selamat HUT ke-74 RI Negaraku tercinta.